• Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
  • (0251) 8313083; WA: 085282566991
  • [email protected]
Logo Logo
  • Beranda
  • Profil
    • Overview
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas & Fungsi
    • Pimpinan
    • Satuan Kerja
    • Sumber Daya Manusia
    • Logo Agrostandar
  • Informasi Publik
    • Portal PPID
    • Standar Layanan
      • Maklumat Layanan
      • Waktu dan Biaya Layanan
    • Prosedur Pelayanan
      • Prosedur Permohonan
      • Prosedur Pengajuan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa
    • Regulasi
    • Agenda Kegiatan
    • Informasi Berkala
      • LHKPN
      • LHKASN
      • Rencana Strategis
      • DIPA
      • RKAKL/ POK
      • Laporan Kinerja
      • Capaian Kinerja
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Realisasi Anggaran
      • Laporan Tahunan
      • Daftar Aset/BMN
    • Informasi Serta Merta
    • Informasi Setiap Saat
      • Daftar Informasi Publik
      • Standar Operasional Prosedur
      • Daftar Informasi Dikecualikan
      • Kerjasama
  • Publikasi
    • Buku
    • Pedum/ Juknis
    • Infografis
  • Reformasi Birokrasi
    • Manajemen Perubahan
    • Deregulasi Kebijakan
    • Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
    • Penataan dan Penguatan Organisasi
    • Penataan Tata Laksana
    • Penataan Sistem Manajemen SDM
    • Penguatan Akuntabilitas
    • Penguatan Pengawasan
  • Kontak

Berita BRMP Perkebunan

Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan

Thumb
239 dilihat       26 Maret 2025

Kemandirian Obat Melalui Tanaman Biofarmaka

Repost - kompas.com

Kuntoro Boga Kepala PSI Perkebunan, Kementan

DI TENGAH ketidakpastian sistem kesehatan global dan mahalnya obat-obatan kimia, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memastikan akses kesehatan yang terjangkau sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor. Pandemi COVID-19 yang lalu menunjukkan betapa rentannya ketahanan kesehatan nasional ketika rantai pasok obat dan alat kesehatan global terganggu.

Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, yaitu pengembangan tanaman obat unggul (tanaman biofarmaka) sebagai pilar kemandirian kesehatan dan ekonomi. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penduduk dunia menggunakan obat herbal tradisional sebagai bagian dari perawatan kesehatan mereka.

Pada 2015, nilai perdagangan global untuk enam kelompok tanaman obat mencapai 4,3 miliar dollar AS. Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas sekitar 9.600 spesies dengan lebih dari 22.000 ramuan obat tradisional yang telah teridentifikasi secara ilmiah.

Namun, kita masih tertinggal dalam pemanfaatannya dari negara-negara seperti China, India, dan Brasil. Mereka lebih dahulu membangun ekosistem riset dan produksi. Untuk mengubah keadaan ini, Indonesia perlu segera mengembangkan strategi nasional yang komprehensif dalam memanfaatkan potensi tanaman obat. 

Langkah-langkah tersebut meliputi peningkatan riset dan pengembangan, pemberdayaan petani lokal dalam budidaya tanaman obat, serta penguatan industri pengolahan dan pemasaran produk herbal. 

Potensi Ekonomi yang Terabaikan 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah Indonesia meningkat dari 222,88 juta dollar AS (sekitar Rp 3,66 triliun) pada 2012 menjadi 291,87 juta dollar AS (sekitar Rp 4,79 triliun) pada 2023. 

Beberapa komoditas seperti minyak nilam, jahe, dan kunyit memiliki potensi lebih besar untuk komoditas ekspor jika diolah menjadi produk bernilai tambah. Meski demikian, potensi ini belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi nasional.

Dalam beberapa dekade terakhir, sebelum bertranformasi menjadi Badan Standarisasai Instrumen Pertanian (BSIP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian berhasil mengembangkan berbagai varietas tanaman obat unggul dengan kualitas yang kompetitif secara global.

Misalnya, Nilam Varietas Patchoulina 1 dan 2 memiliki kadar Patchouli Alcohol (PA) lebih dari 30 persen, yang melebihi standar pasar. Minyak Nilam memiliki beragam manfaat dalam bidang jamu, kesehatan, kecantikan, pengobatan alternatif, serta aromaterapi. Minyak nilam juga memiliki khasiat sebagai antibakteri, antijamur, anti-inflamasi, penguat imun, serta anti-aging untuk kesehatan kulit.

Dalam pengobatan alternatif, minyak ini juga digunakan sebagai antidepresan alami, pereda kecemasan, insomnia, serta perangsang metabolisme dan daya tahan tubuh. Dalam aromaterapi, aroma nilam bermanfaat untuk menenangkan pikiran, mengurangi stres, meningkatkan mood positif, serta mempertajam konsentrasi.

Selain itu, Kumis Kucing Orsina 1 Agribun memiliki kandungan sinensetin yang tinggi sebagai penghancur batu ginjal. Sementara Jahe Merah Jahira dan Kunyit Curdonia mengandung senyawa aktif yang lebih tinggi dibandingkan varietas biasa.

Sayangnya, riset Pusat Studi Biofarmaka IPB (2022) menunjukkan bahwa industri jamu nasional masih bergantung pada bahan baku impor karena kualitas dan kontinuitas pasokan dalam negeri belum terjamin. Petani tanaman obat masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari lahan terbatas, akses pembiayaan yang sulit, hingga minimnya pengetahuan tentang teknik budidaya yang baik.

Produktivitas jahe nasional, misalnya, hanya mencapai 8–10 ton per hektare, jauh lebih rendah dibandingkan India yang mencapai 25 ton per hektare. Di sisi lain, industri dalam negeri lebih memilih impor bahan baku karena harga yang lebih murah meskipun kualitasnya sering dipertanyakan.

Strategi Pengembangan Ekosistem Tanaman Obat Nasional

Pemerintah perlu menggalakkan budidaya tanaman obat berbasis klaster di sentra produksi, serta menyediakan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah bagi petani tanaman obat. Pelatihan intensif tentang Good Agricultural Practices (GAP) juga harus digalakkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian.

Contoh sukses dari upaya ini dapat ditemukan di Kabupaten Temanggung, di mana 3.000 petani tembakau, beberapa telah berhasil beralih ke budidaya diversifikasi tanaman. Salah satunya tanaman obat purwoceng yang bernilai tinggi, berkat pendampingan akademisi dan dukungan pemerintah daerah.

Di sektor hilir, peningkatan nilai tambah harus menjadi fokus utama. Pembangunan pabrik ekstraksi berteknologi tinggi di sentra produksi dapat meningkatkan nilai jual produk, seperti mengubah minyak nilam mentah seharga 15 dollar AS (setara Rp 250.000) per kilogram menjadi isolat patchouli alcohol yang bernilai 500 dollar AS (setara Rp 8 juta) per kilogram.

Kolaborasi antara BUMN seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dengan UMKM juga dapat mempercepat produksi sediaan farmasi modern berbasis tanaman obat. Kemitraan antara petani, pemerintah, akademisi, dan industri atau model quadruple helix perlu diwujudkan dalam bentuk klaster inovasi.

Akademisi dapat berperan dalam pengembangan benih unggul dan teknologi pascapanen, sementara industri menjamin pembelian dengan harga yang wajar. Model seperti ini telah sukses diterapkan di India melalui skema "Agri-Export Zones", di mana pemerintah menyediakan infrastruktur, industri menjadi penggerak utama, dan petani mendapatkan kepastian pasar.

Standarisasi mutu juga menjadi kunci dalam meningkatkan daya saing produk herbal Indonesia di pasar global. Pemerintah perlu mempercepat penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk setiap varietas tanaman obat, serta mendorong sertifikasi organik dan fair trade.

Selain itu, diplomasi kesehatan harus dimanfaatkan untuk membuka akses pasar global, termasuk melalui jejaring internasional seperti International Alliance of Dietary/Food Supplement Associations (IADSA). Pelestarian budaya dan kearifan lokal Pengembangan tanaman obat tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga memiliki nilai budaya yang tinggi.

Lebih dari 300 etnis di Indonesia memiliki pengetahuan tradisional dalam pengobatan herbal yang dapat dipatenkan. Namun, data dari WIPO (2023) menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki 152 paten terkait tanaman obat, jauh lebih rendah dibandingkan China yang memiliki lebih dari 14.000 paten. Oleh karena itu, program dokumentasi pengetahuan tradisional harus diperluas untuk mencegah biopiracy (perampasan komersial sumber daya biologis) dan memastikan pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat adat.

Berdasarkan laporan dari For Insights Consultancy, pasar obat herbal organik global diperkirakan tumbuh dari 14,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 231,4 triliun) pada tahun 2023 menjadi 24,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 383,2 triliun) pada 2030, dengan laju pertumbuhan tahunan majemuk atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 9,8 persen.

Untuk menyambut peluang ini, Indonesia perlu menyusun peta jalan pengembangan tanaman obat yang terintegrasi dengan program Industri Hijau dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Investasi dalam riset genomik tanaman obat, pelatihan tenaga herbalis bersertifikat, serta integrasi pengobatan herbal dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus segera dipercepat. Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi pemimpin dalam industri tanaman obat dunia, mulai dari kekayaan biodiversitas, warisan budaya, hingga sumber daya manusia ahli yang berkualitas.

Prev Next

- PSI Perkebunan


Pencarian

Berita Terbaru

  • Thumb
    Selamat Hari Kebangkitan Nasional ke-117!
    20 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Tepung Lokal dan Ketahanan Pangan: Menakar Ulang Dominasi Impor
    20 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Merayakan kebangkitan nasional pertanian Indonesia
    20 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Potensi Kerja Sama Indonesia Jepang di Bidang Pertanian
    19 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
    18 Mei 2025 - By PSI Perkebunan

tags

BRMP Perkebunan Badan Perakitan & Modernisasi Pertanian Pusat Perakitan & Modernisasi Perkebunan Tanaman Obat

Kontak

(0251) 8313083; WA: 085282566991
(0251) 8336194
[email protected]

Jl. Tentara Pelajar No. 1
Bogor 16111 - Jawa Barat
Indonesia
16111

website: https://perkebunan.bsip.pertanian.go.id/

© 2025 - 2025 Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan. All Right Reserved